Kang Mundir ::: Sekarang kita akan melihat berbagai fatwa dari para ulama mengenai bolehkah dosen menerima hadiah dari mahasiswa.
Fatwa Ulama Kontemporer
Berkaitan dengan masalah hadiah yang diterima dari dosen atau guru
yang berasal dari mahasiswa, murid, atau walinya, maka terdapat fatwa
Lajnah Daimah berikut ini.
س:
أنا مدرسة في مدرسة لمحو الأمية، وفي نصف العام الدراسي وعند الانتهاء من
النتائج وتوزيع الشهادات، يقدمن لي العديد من الهدايا، فأقبلها بعد إلحاح
منهن، وتهديد بالزعل أحيانا، فما حكمها، وهل يجوز لي أن أتقبلها، وهل تعتبر
رشوة؟
Pertanyaan: Saya adalah seorang guru perempuan (di salah satu
sekolah). Pada pertengahan atau akhir tahun tatkala pembagian rapor atau
ijazah, saya menerima hadiah dalam jumlah yang sangat banyak. Kemudian
saya menerimanya setelah mereka merengek dan terkadang mereka mengancam
akan jengkel dan kesal kalau tidak saya terima. Bolehkan saya menerima
hadiah-hadiah tersebut? Dan apakah termasuk risywah (suap)?
ج:
بذل الهدية للمعلم أو المعلمة في المدارس النظامية، حكومية أو غير حكومية-
في معنى الرشوة، فلا يجوز دفعها ولا أخذها. وقد نهى النبي صلى الله عليه
وسلم عن هدايا العمال، فقد صح عنه صلى الله عليه وسلم من حديث أبي حميد
الساعدي رضي الله عنه، أنه قال: « هدايا العمال غلول » (1) رواه أحمد
وغيره.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … عضو … الرئيس
بكر أبو زيد … عبد العزيز آل الشيخ … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Jawaban: Memberikan hadiah kepada guru laki-laki atau guru perempuan
di sekolah negeri atau swasta semakna dengan risywah (suap). Oleh karena
itu, tidak boleh memberi atau menerimanya. Nabi melarang dari menerima
hadiah bagi para pegawai sebagaimana dalam hadits shahih dari Abu Humaid
As-Sa’idi bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hadiah kepada para pegawai adalah ghulul”. Wabillahit taufiq. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washohbihi wa sallam.
Ketua: Syaikh Abdul ‘Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz
Anggota:
Syaikh Abdullah ibnu Al-Ghudyan
Syaikh Shalih Al-Fauzan
Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh
Syaikh Bakr Abu Zaid. [1]
Hadiah bagi Pegawai atau Pejabat yang Halal (Boleh Diterima)
Hadiah yang diberikan kepada seseorang yang berhubungan dengan
pekerjaan atau jabatannya hanya diperbolehkan dalam tiga kondisi berikut
ini:
1. Hadiah yang diberikan seorang atasan kepada bawahannya.
Contohnya adalah hadiah yang diberikan kepala sekolah ke guru; hadiah
dari rektor (pimpinan universitas) yang diberikan ke dekan (pimpinan
fakultas); atau hadiah dari dekan ke dosen. Jika sebaliknya, maka
terlarang. Maka hadiah menjadi terlarang apabila diberikan seorang guru
kepada kepala sekolahnya. Demikian pula terlarang adanya hadiah yang
diberikan seorang dosen kepada dekan atau rektornya.
2. Hadiah yang diberikan kepada pejabat karena masih ada hubungan kekerabatan.
Karena termasuk di dalam pengertian memutus hubungan silaturahim
adalah tidak menerima harta (hadiah) dari kerabat. Akan tetapi, jika
terdapat gejala-gejala adanya maksud dan tujuan yang tidak baik dengan
adanya hadiah tersebut, maka hadiah seperti itu bisa menjadi hadiah yang
dilarang. Sebagai contoh, seseorang yang sedang mempunyai kasus di
pengadilan dan mempunyai saudara yang berprofesi sebagai seorang hakim.
Sebelum dia terlibat kasus, dia sangat jarang menemui apalagi memberi
hadiah saudaranya yang berprofesi sebagai hakim itu. Setelah dia
terlibat dalam kasus dan berurusan dengan pengadilan, dia menjadi sering
mendatangi saudaranya dan memberinya hadiah. Maka hadiah seperti ini
tidak boleh diterima.
3. Hadiah dari seseorang yang diberikan kepada pejabat karena orang tersebut sudah terbiasa memberi hadiah kepada pejabat sejak pejabat tersebut belum mempunyai jabatan.
Misalnya terdapat seseorang yang berteman dengan orang lain yang
sekarang telah menjadi pejabat. Jika orang tersebut sudah terbiasa
memberi hadiah kepada temannya sejak temannya belum menjadi pejabat,
maka hadiah seperti ini diperbolehkan. Hal ini pun harus dengan syarat
bahwa hadiah yang diberikan kepada temannya antara sebelum dan sesudah
menjadi pejabat harus bernilai sama. Jika terjadi peningkatan nilai,
maka perlu untuk dirinci. Jika hadiahnya berupa barang yang bisa dibagi,
maka pejabat tersebut boleh mengambil hadiah senilai dengan hadiah yang
biasa dia terima (sebelum menjadi pejabat), dan sisa (kelebihannya)
wajib dikembalikan kepada teman yang memberikannya. Namun, ketika
hadiahnya berupa barang yang tidak bisa dibagi, maka wajib bagi pejabat
tersebut untuk mengembalikan seluruh hadiah tersebut kepada teman yang
telah mengirimkannya. [2]
Semoga Allah melindungi kita dari harta-harta yang haram dan mencukupkan kita dengan harta yang halal. [Selesai]
Catatan kaki:
[1] Fatwa Lajnah Daa’imah, Juz 23/583, no. 18039 (Maktabah Syamilah)
[2] Rincian ini adalah faidah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar, SS.,
MPI., ketika membahas kitab Al-Kabair (dosa-dosa besar) karya Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah pada bab ke-19 tentang ”Harta Ghulul dari Harta
Rampasan Perang, dari Baitul Mal, dan Zakat”.
Selesai disusun di pagi hari, di rumah sakit Erasmus MC Rotterdam, 10 Shafar 1436
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
Tambahan dari Redaksi Blog Kang Mundir
Syaikh Dr. Ahmad Al Kholil hafizhahullah berkata, “Termasuk
pula dalam hadiah yang terlarang adalah hadiah dari seorang murid
(mahasiswa) kepada guru (dosennya). Itu termasuk dalam hadayal ‘ummal,
yang tidak dibolehkan, baik itu diberi setelah kenaikan tingkat dan
diumumkannya hasil (nilai) atau sebelumnya, baik hadiah itu diberikan
dalam rangka memberikan manfaat pada guru agar bisa memberikan nilai
yang bagus atau cuma sekedar membalas budi baik semata.”
Alasan ketidakbolehannya dengan dalil hadayal ‘ummal yang disebutkan di atas dari dua sisi:
1. Hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa saja yang telah
mendapatkan gaji dari kas negara karena pekerjaan yang ia lakukan, maka
tidak boleh baginya mengambil sesuatu yang lebih sebagai timbal balik
dari pekerjaannya. Hal ini dikuatkan pula dengan hadits dari ‘Abdullah
bin Buraidah, dari bapaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang dipekerjakan dalam suatu amalan lantas ia
mendapatkan gaji dari pekerjaan tersebut kemudian ia mendapatkan
tambahan lain dari pekerjaan itu, maka itu adalah ghulul (hadiah
khianat).” (HR. Abu Daud no. 2943. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2. Dalam hadits hadayal ‘ummal disebutkan diharamkannya seorang pegawai mengambil hadiah tanpa diperinci. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak merinci hal ini, apakah hadiah tersebut diambil setelah
pekerjaannya mengurus zakat selesai ataukah sebelumnya. Begitu pula di
situ tidak disebutkan apakah hadiah tersebut untuk maksud dimudahkan
dalam masalah zakat ataukah tidak.
Dalam Mirqotul Mafatih disebutkan bahwa Ibnul Malik berkata
akan tidak bolehnya seorang pegawai menerima hadiah. Karena jika ada
yang memberikan hadiah, maka tujuannya bisa jadi sebagai sogokan agar
zakat tidak ditagih, tentu seperti ini tidak boleh. Boleh jadi hadiah
tadi diberikan untuk tujuan lainnya namun karena memandang orang
tersebut melakukan pekerjaan itu padahal ia telah diberikan upah atas
pekerjaannya. Intinya, dengan memandang dua sisi ini, hadiah semacam itu
tidak dibolehkan.
Al Qurthubi mengatakan tentang hadits hadayal ‘ummal,
“Hadits tersebut adalah dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa hadiah
yang diberikan kepada pejabat, hakim serta pegawai yang mengurus hajat
kaum muslimin tidaklah dibolehkan. Hadiah tersebut adalah hadiah ghulul
(khianat) dan menunjukkan haramnya. Seperti itu termasuk makan harta
dengan jalan yang batil.”
Bagaimana Jika Guru atau Dosen Sudah Terlanjur Menerima Hadiah?
Jika seorang guru terlanjur menerima hadiah dari muridnya, apa yang ia mesti lakukan?
Ada beda pendapat ulama dalam hal ini, ada yang mengatakan hadiah tersebut diserahkan ke baitul maal (kas negara). Ada pula yang menyatakan dikembalikan pada pemiliknya.
Intinya, yang bisa dipilih adalah hendaknya harta tersebut
dikembalikan pada pemiliknya. Jika tidak bisa diserahkan pada baitul
maal (kas negara) atau bisa pula dengan membelikan sesuatu yang
bermanfaat untuk sekolah. Demikian penjelasan guru kami, Syaikh Dr.
Ahmad Al Kholil –semoga Allah senantiasa menjaga beliau-.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Klik Disini Untuk Ber-Infaq |