Berguru Dalam Mimpi
Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di
daerah
Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas
di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain,
termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu,
terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan
dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin
dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi
itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan,
ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya.
Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena
tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam
Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan
salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru
pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal
desah Kholil sambil menangis.
Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul
dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya.Pada hari
ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi
itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah
dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab
Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Di Datangi Macan
Suatu
hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya.
Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok
pesantren. Pintu gerbang
harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan
ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri
mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat
hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan
semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak
juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak
berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya
di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam
itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak
memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan....macan.., ayo kita
kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang
komandan di medan perang.Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua
santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit,
tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai
nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu
langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu
menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu
memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran
ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga,
pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada
malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang
mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.Secara tidak
diduga, tengah
malam Syeikh Kholil datang dan membantu
membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa
ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru
pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh
Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari
santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab
Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk
komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di
mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan
bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
SANTRI MIMPI DENGAN WANITA
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar
dari
Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat
subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaanBahar sholat subuh berjamaah bukan
karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi
tidurdengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab
wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh,
terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya
berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar.....Para santri yang
sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda
tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh
itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di
belakang pintu masjid.Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil
menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.Semua
santri merasa terkejut,
tidak menduga akan mendapat pertanyaan
seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang
tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar.
Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan
kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil
menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu
tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua
rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai
Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.
Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat
yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan
tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan
dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan
dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di
nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri
Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar
melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan
buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada
di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai
Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap
santri Bahar pulang
meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju
kampung halamannya.Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang
mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat
alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia
beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan
santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa
Timur.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu
hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami
jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai
Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang
Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil
menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang
Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai
Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang
fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib
dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat
wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai
sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu,
tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib
terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir
macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa
Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak
pergi juga.Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil
datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan
itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih.
Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil
yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan
kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi
pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara
fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam
ungkapan itu.
Jawaban Syeikh Kholil kepada tamunya
Suatu
Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama,
manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’,
maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah
‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya
sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil
bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang
jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam mushala,
saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi
Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib,
teriak Kiyahi Khalil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.
Tentu
saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu
bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah
maaliki yaumiddin itu.
Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Tongkat Syeikh Kholil Dan Sumber Mata Air
Suatu
hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri
menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa
Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah
melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan
tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil,
memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar.
Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam
yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu
sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror
Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.